Rabu, 26 Agustus 2009

MaQomat

Lapar dan Meninggalkan Syahwat--->>

Syeikh Abul Qasim al-Qusyairy

Allah swt. berfirman:

وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِنَ الأمْوَالِ وَالأنْفُسِ وَالثَّمَرَاتِ وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ

"Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sebagian ketakutan dan kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah buahan. Dan berikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar." (Q.s. Al Baqarah: 155).

Berikanlah kabar gembira dengan pahala yang indah karena kesabaran mereka dalam menanggung lapar

Allah swt. berfirman:
"Dan mereka memprioritaskan (Muhajirin) atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu)." (Q.s. AI Hasyr: 9).

Anas bin Malik menuturkan bahwa ketika Fatimah r.a." memberikan sekerat roti bagi Rasulullah saw, beliau bertanya, "Apa ini, wahai Fatimah?" Fatimah menjawab, "Sepotong roti yang saya masak sendiri. Hati saya tidak dapat tenang sebelum memberikan roti ini kepadamu."

Beliau menjawab, "Ini adalah sepotong makanan pertama yang masuk ke mulut ayahmu sejak tiga hari ini." (Hadis ini diriwayatkan oleh al Harits bin Abu Usamah dalam Musnad nya, melalui sanad yang dha'if, namun memiliki bukti kebajikan sanad dalam maknanya)
Alasan inilah yang menjadikan lapar termasuk dalam sifat kaum Sufi dan salah satu tiang mujahadah. Para penempuh suluk selangkah demi selangkah maju membiasakan berlapar lapar menahan diri dari makan, dan mereka menemukan mata air kebijaksanaan di dalam lapar. Cerita tentang mereka dalam hal ini cukup banyak.

Ibnu Salim berkata, "Etika berlapar diri adalah bahwa seseorang terus menerus tidak mengurangi porsi makanannya, kecuali sebesar telinga kucing (amat sedikit)." Dikatakan bahwa Sahl bin Abdullah tidak makan, kecuali setiap limabelas hari. Manakala bulan Ramadhan tiba, ia bahkan tidak makan sampai melihat bulan baru. Dan tiap kali berbuka hanya minum air putih saja.
Yahya bin Mu'adz menjelaskan, "Seandainya orang dapat membeli lapar di pasar, maka para pencari akhirat niscaya tidak akan perlu membeli sesuatu yang lain di sana."

Sahl bin Abdullah berkomentar, "Ketika Allah swt. menciptakan dunia, Dia menempatkan dosa dan kebodohan di dalam kepuasan nafsu makan minum, dan menempatkan kebijaksanaan dalam lapar."
Yahya bin Mu'adz mengatakan, "Lapar bagi para penempuh jalan Allah (murid) adalah olah ruhani (riyadhah), sebuah cobaan bagi orang-orang yang bertobat, dan siasat bagi para zahid, tanda kemuliaan bagi para ahli ma'rifat."

Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq menuturkan, "Seseorang datang menjumpai salah seorang syeikh, dan Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq menuturkan, "Seseorang datang menjumpai salah seorang syeikh, dan ketika melihat sang syeikh menangis, ia bertanya, "Mengapa Anda menangis?" Sang syeikh menjawab, "Aku lapar." Ia mencela, "Seorang seperti Anda, menangis karena lapar?" Sang syeikh balas mencela, "Diamlah! Engkau tidak mengetahui bahwa tujuan Nya menjadikan aku lapar adalah agar aku menangis"."
Dawud bin Mu'adz mengisahkan, bahwasanya Mukhallid mengabarkan, 'Al Hajjaj bin Furafishah sedang berada bersama kami di Syam, dan selama limapuluh malam ia tidak minum air ataupun mengisi perut dengan sesuap makanan pun."

Abu Abdullah Ahmad bin Yahya al-Jalla' berkata, "Abu Turab an-Nakhsyaby datang mengarungi padang pasir Bashrah ke Mekkah - semoga Allah melindungi kota ini - dan kami bertanya kepadanya tentang makanannya. Ia menjawab, 'Aku meninggalkan Bashrah, makan di Nibaj dan kemudian di Dzat Araq. Dan dari Dzat Araq aku datang kepada kalian.' Jadi, ia menyeberangi padang itu dengan hanya makan sebanyak dua kali."
Setiap kali Sahl bin Abdullah lapar, ia tegar, dan setiap kali makan ia menjadi lemah.

Abu Utsman al-Maghriby berkata, "Orang yang mengabdi kepada Tuhan (rabbany) hanya makan setiap empatpuluh hari, dan orang yang mengabdi kepada Yang Abadi (shamadany) hanya makan setiap delapanpuluh hari."
Abu Sulaiman ad-Darany menegaskan, "Kunci dunia ini adalah mengisi perut, dan kunci akhirat adalah lapar."

Sahl bin Abdullah ditanya, "Bagaimana pendapat Anda tentang orang yang makan sekali sehari?" Dijawabnya, "Itulah makan orang beriman." "Bagaimana dengan yang makan tiga kali sehari?" Ia mencela, "Suruh saja orang membuat gentong makanan untukmu."
Yahya bin Mu'adz berkomentar, "Lapar adalah pelita, dan kenyang adalah api. Hawa nafsu adalah seperti kayu api yang darinya muncul api yang berkobar, dan tidak akan padam sampai ia membakar pemiliknya."
Abu Nashr as-Sarraj ath-Thausy menuturkan, "Seorang laki laki dari kaum Sufi datang menemui seorang syeikh dan menyuguhkan sedikit makanan. Lalu ia bertanya, 'Sudah berapa lama Anda tidak makan?' Sang syeikh menjawab, 'Lima hari.' Si Sufi berkata, 'Lapar Anda adalah lapar orang bakhil. Anda memakai pakaian (bagus) sementara Anda lapar. Itu bukanlah lapar orang fakir'!"
Abu Sulaiman ad-Darany menegaskan, "Bahwa meninggalkan sepotong daging di waktu makan malam lebih kusukai daripada berdiri melakukan shalat sepanjang malam."

Berkata Abul Qasim ja'far bin Ahmad ar-Razy, "Beberapa hari Abul Khayr al 'Asqalany ingin sekali mengonsumsi ikan. Lalu sejumlah ikan sampai ke tangannya melalui jalan yang halal. Tetapi ketika tangannya meraih ikan itu untuk dimakannya, lalu ia berkata, 'Ya Allah, jika hal ini menimpa orang yang mengulurkan tangannya karena ingin memakan barang yang halal, apa pula yang akan terjadi kepada orang yang mengulurkan tangannya untuk sesuatu yang haram'?"
Saya mendengar Rustam asy-Syirazy as-Shufy menuturkan, "Abu Abdullah bin Khafif sedang menghadiri jamuan makan, tiba-tiba salah seorang muridnya bermaksud mengambil makanan mendahului sang syeikh karena laparnya. Salah seorang murid syeikh, yang ingin menegur atas ketidak sopanannya itu, menempatkan sedikit makanan di hadapan si fakir itu. Menyadari bahwa dirinya dicela karena kurang beradab, si fakir itu lalu tidak mau makan selama limabelas hari sebagai hukuman dan pendisiplinan jiwanya, serta sebagai tanda tobat atas ketidak-sopanannya itu, padahal selama ini ia telah menderita kelaparan."

Malik bin Dinar berkata, "Barangsiapa telah mengalahkan syahwat dunia, maka itulah tindakan yang dapat memisahkan setan dari lindungannya."
Abu Ali ar-Rudzbary mengajarkan, "Jika seorang Sufi setelah lima hari tidak makan, mengatakan, 'Aku lapar,' maka kirimlah ia ke pasar agar mendapatkan pekerjaan."

Saya mendengar Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq menuturkan ucapan seorang syeikh, bahwa penghuni neraka telah dikalahkan oleh syahwatnya atas kewaspadaan mereka, hingga mereka tercela. Beliau juga berkata, "Seseorang bertanya kepada salah seorang syeikh, Apakah Anda tidak menginginkan sesuatu?' Sang syeikh menjawab, ‘Aku menginginkannya, akan tetapi aku menahan diri'."
Syeikh yang lain ditanya, "Adakah sesuatu yang tuan inginkan?" Jawabnya, 'Aku menginginkan untuk tidak ingin lagi."

Abu Nashr at-Tammar mengabarkan, "Pada suatu malam Bisyr datang kepadaku, dan aku berkata, 'Segala puji bagi Allah yang telah membawamu ke sini, Sejumlah kapas dari Khurasan telah sampai kepada kami; budak wanita telah menenunnya, menjualnya dan membeli sedikit daging untuk kita. Engkau bisa berbuka puasa dengan kami.' Ia menjawab, 'Jika aku mesti makan dengan seseorang, aku akan memilih makan denganmu.' Lalu ia menjelaskan, 'Telah bertahun tahun aku ingin makan terung, tetapi aku belum ditakdirkan untuk memakannya.' Lalu aku menjawabnya, 'Ada terung yang halal dalam makanan ini.' Ia menjawab, 'Bahkan sampai bersih dari bijinya'."

Saya mendengar Abu Ahmad ash Shagir berkata, "Abu Abdullah bin Khafif menyuruhku menyuguhinya sepuluh butir kismis untuk buka puasanya setiap malam. Suatu malam aku merasa kasihan kepadanya, dan kusuguhkan limabelas butir kismis. Ia memandangku dan bertanya, 'Siapa yang menyuruhmu (memberi limabelas kismis?)' Lalu dimakannya sepuluh butir dan membiarkan sisanya. "

Abu Turab an-Nakhsyaby berkomentar, "Jiwaku tidak pernah cenderung kepada hawa nafsu kecuali sekali saja: Aku ingin sekali makan roti dan telur ketika aku sedang berada dalam perjalanan. Lalu aku pun memasuki sebuah kampung. Seseorang bangkit dan memegang tanganku sambil berkata, 'Orang ini adalah salah seorang dari perampok itu!' Lalu orang orang di situ memukuliku tujuhpuluh kali. Seorang laki laki di antara mereka mengenaliku dan menyela, 'Ini adalah Abu Turab an Nakhsyaby!' Mendengar itu, mereka cepat-cepat meminta maaf kepadaku, dan laki laki itu lalu membawaku ke rumahnya karena rasa hormat dan kasihan kepadaku, dan ia menjamu aku dengan roti dan telur. Maka aku berkata kepada diri sendiri, 'Makanlah, setelah tujuhpuluh kali pukulan'!"

0 komentar: